Kamis, 22 April 2010

Hari Ibu Kita R.A. KARTINI

HARI Kartini, yang diperingati setiap tanggal 21 April, selalu terekam kenangan tentang bagaimana hari tersebut diperingati. Lomba kebaya dan lagu "Ibu Kita Kartini", demikianlah kenangan itu. Di sekolah-sekolah dasar, sudah merupakan pemandangan tahunan jika peringatan ditandai dengan parade gadis-gadis kecil berkebaya bak potret atau gambar Kartini.

Merayakan hari Kartini bersama anak-anak biasanya identik dengan berpakaian daerah yang berwarna-warni, dan menyanyikan lagu-lagu daerah serta lagu Ibu Kita Kartini. Bagi saya, perayaan hari Kartini bukan semata-mata memperingati perjuangan Kartini, tapi sekaligus memperingati perjuangan para pahlawan wanita lainnya. Bahkan mungkin juga memperingati perjuangan kaum pria yang membantu para pejuang wanita kita.

Kebhinnekaan adalah kekayaan utama kita, tetapi tanpa pendidikan dasar yang benar bisa berbalik menjadi sumber petaka pertikaian. Apa yang diperjuangkan Kartini pada dasarnya adalah kesempatan untuk mendapatkan pendidikan bagi kaum wanita. Hal ini sesuai dengan konteks keadaan di Jawa pada tahun 1900, satu abad yang lalu. Raden Ajeng Kartini dilahirkan pada tanggal 21 April 1879. Pada waktu itu kaum pria lebih berpeluang mendapatkan pendidikan daripada kaum wanita. Seandainya Kartini ada pada saat ini, tentunya dia akan memperjuangkan hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan.

Bila kita membaca buku kumpulan surat-surat Kartini, akan terasa benar betapa maju jalan berpikirnya sebagai seorang anak gadis yang hanya bersekolah sampai tingkat SD. Ada yang meragukan keaslian surat Kartini, tapi kalau membacanya secara lengkap rasanya terlalu sulit untuk mengatakan bahwa orang asing yang mengarang surat-surat itu karena isinya bisa menguraikan budaya Jawa secara demikian gamblang. Ironisnya, saat cukup banyak bangsa Indonesia yang meragukannya, malah orang asing lebih percaya dan berpikir bahwa surat-surat Kartini merupakan kritik pedas pada bangsa Belanda tapi diperhalus oleh Abendanon untuk tujuan politiknya.

Surat-surat Raden Ajeng Kartini dibukukan oleh Abendanon sebagai “Door Duisternis Tot Licht” pada tahun 1911. Dalam biografi Kartini dijelaskan bahwa terjemahan sesungguhnya dari kalimat ini adalah: Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Armijn Pane yang memang sastrawan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1978 dengan kalimat yang lebih puitis “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Armijn Pane hanya mengambil 87 surat dari kumpulan surat-surat Kartini agar bisa lebih berkesan sebagai sebuah roman.

Louis Charles Damais hanya memilih 19 surat untuk diterjemahkan dengan sangat indah ke dalam bahasa Perancis berjudul “Lettres de Raden Adjeng Kartini, Java en 1900”. Surat-surat Kartini sendiri menurut pengantar dari buku ini selain diterjemahkan ke bahasa Belanda, bahasa Indonesia, juga pernah diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris dan bahasa Spanyol. Surat seorang gadis Jawa dari tahun 1900 yang mendunia!

Membaca buku ini sendiri membawa saya pada proses pencerahan diri Kartini. Dari dalam kerinduannya akan pengetahuan dan pandangan awalnya yang mungkin memuja kemajuan dunia Barat. Lalu proses pendewasaan diri, dia mendapatkan pencerahan dan berhasil menemukan keindahan dalam budaya yang dimilikinya dan mencoba memajukan dengan mengedepankan pendidikan. Hal yang seharusnya masih bisa kita teruskan hingga saat ini.

Kartini memulai bersahabat pena dengan Stella karena dia menginginkan seorang teman wanita yang modern, seorang wanita yang memiliki kepercayaan diri, bisa berdiri sendiri, yang bisa memilih sendiri jalan kehidupannya, penuh antusiasme dan mau bekerja bukan untuk kesenangan pribadi semata melainkan juga untuk lingkungannya.

Kartini beruntung, Stella yang menjadi sahabat penanya adalah seorang gadis yang memiliki ide-ide feminis dan sosialis yang cukup maju pada saat itu. Banyak hal yang digali Kartini dari persahabatan melalui korespondensi dengan orang-orang yang memiliki budaya dan pendidikan yang berbeda darinya.

Yang menarik untuk diperhatikan adalah pencerahan Kartini terhadap pemahaman agamanya sendiri. Pada awalnya ia mempertanyakan mengapa Al Qur’an harus dilafalkan tanpa ada kewajiban untuk memahami isinya. Dia mengerti benar bahwa agama seharusnya menjaga manusia dari berbuat dosa, tetapi sungguh banyak dosa yang diperbuat orang atas nama agama (Kompas, 2003). Betapa pendalaman yang benar terhadap agama akan membawa manusia menjauhi kekelaman dosa.

Kartini mengakui bahwa saling menolong dan membantu, serta saling mencintai itulah dasar dari segala agama. Walaupun dengan sangat kritis dia mengajukan berbagai pertanyaan dan kritik (seperti dalam hal poligami), tapi pada akhirnya dia yakin bahwa bagaimanapun ia akan tetap memeluk agamanya sendiri (Kompas, 2004). Dari menggali keberadaan agama-agama lain (termasuk agama Budha yang juga sering disebut dalam suratnya), dia memperoleh pencerahan yang memperkuat pelayanan keimanannya.

Ada yang mengatakan bahwa Kartini baru berpikir dalam konteks anak perempuan Jawa, tapi sebenarnya dia sudah berpikir melintasi batas regionalnya. Pada waktu mengembalikan beasiswa untuk studi di Batavia, ia mengusulkan seorang pemuda Sumatera untuk menggantikannya. Pemuda itu kemudian kita kenal sebagai Haji Agus Salim.

Dari buku terjemahan Damais ini saya terkesan pada surat Kartini yang menyatakan pembicaraannya dengan Van Kol. Van Kol menerangkan betapa besar kesulitan Kartini setelah belajar di negeri Belanda untuk pulang kembali ke negerinya. Bagaimana beberapa wanita Indonesia yang dikenalnya mengalami kesulitan karena menikah dengan orang Belanda, tidak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di negeri Belanda sementara suaminya tidak bisa mengikuti kehidupan di Indonesia. Keterkejutan Kartini dituliskan kepada sahabatnya Stella (17 Mei 1902), bagaimana dia menerangkan bahwa keinginannya ke Belanda semata-mata hanya untuk belajar agar dapat menjadi tenaga pengajar yang baik di Indonesia.

Walaupun mungkin tidak dituliskannya secara mendetail, menurut pandangan saya Kartini menerima lamaran Bupati Rembang banyak didasari pada pemikiran yang mendalam dan rasional. Meneruskan pengembangan dirinya pribadi bisa jadi Kartini tidak akan pernah berakhir pada pengajaran kaum wanita. Ia menuruti perintah orang tuanya untuk menikah, karena tampaknya calon suami menjanjikan akan mendukung penuh kegiatan untuk mengajar bagi anak-anak wanita di Jawa (surat kepada Nyonya Van Kol, 1 Agustus 1903).

Merayakan Hari Ibu Kartini dapat di lakukan dengan:

Menyanyikan Lagu Ibu Kita Kartini

Karangan / Ciptaan : W.R. Supratman

Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya

Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka

Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

Ibu kita Kartini
Putri jauhari
Putri yang berjasa
Se Indonesia

Ibu kita Kartini
Putri yang suci
Putri yang merdeka
Cita-citanya

Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

Lomba Busana Daerah

Cara Anak Pantai Merayakan Hari Kartini

Komunitas Surfer Girl menyambut Hari Kartini dengan surfing culture di pantai Kuta Bali. Jika biasanya bermain surfing atau selancar menggunakan pakaian renang atau bikini, hari ini di pantai Kuta Bali, Komunitas surfer girl unjuk kebolehan bermain surfing dengan menggunakan kebaya.


0 komentar:

Posting Komentar